Setidaknya ada dua komponen utama untuk membangun sebuah jaringan ‘seluler’ berbasis OpenBTS, yakni hardware (USRP, antena, duplexer, power amplifier) dan software (OpenBTS, Asterix, Jabber). USRP (Universal Software Radio Peripheral) bertugas untuk handling client request melalui air interface (Um), antenna sebagai pemancar dengan band 900/1800 Mhz, duplexer berguna untuk membagi carrier RF ke beberapa antena sektoral jika diinginkan dan power amplifier untuk menambah coverage seluler. Komponen pendukung berikutnya adalah software yang bertugas untuk mengolah signal RF sebagai carrier yng berbasis DSP (Digital Signal Processor) dan software yang bertugas mengolah data (softswitch, SMS handling, GPRS). Software DSP dalam OpenBTS diwakili oleh DSR (Defined-Software Radio) yang bertugas untuk menerjemahkan (decoding) kode-kode signaling dalam pertukaran data dan sinkronisasi antara BTS dengan handset client.
Sebagai softswitch, software yang dibutuhkan adalah Asterisk untuk proses handling dan billing percakapan suara dan Jabber untuk handling data text melalui SMS. Jabber ini sebenarnya adalah software untuk text chat berbasis protokol XMPP, namun sudah dapat berkomunikasi dengan OpenBTS, yang kemudian dimanfaatkan untuk melakukan tugas handling SMS operation seperti halnya SMS Center (SMSC). Protokol komunikasi yang digunakan adalah SIP (Session Initiation Protocol), yang merupakan penyempurnaan dari teknologi VoIP (Voice over IP). Jadi Asterisk sebagai softswitch melakukan interkoneksi panggilan suara melalui jaringan IP menggunakan protokol SIP tersebut, sehingga handset GSM nantinya seakan-akan berfungsi sebagai SIP extention/SIP client, namun dengan protokol air interface (Um) di sisi physical layer-nya. Anda bisa membayangkannya seperti pada telepon ekstension kantor dengan server sebuah IP-PBX, namun telepon ekstension tersebut bersifat portable dan berbentuk seperti handset biasa. Sebagai backhaul-nya adalah IP network, jadi sangat mudah jika suatu saat nanti dikembangkan menjadi jaringan IMS (IP Multimedia Subsystem) atau 4G. Karena sudah memiliki Network Element penunjang jaringan seluler yang lengkap (radio interface, softswitch, billing, SMSC), maka OpenBTS ini dapat berdiri sendiri sebagai sebuah jaringan tunggal bahkan dengan hanya satu cell. Seperti pada gambar di atas, sebuah jaringan ‘seluler’ sudah terbentuk dan mampu melayani percakapan suara dan SMS pada lingkungan sekitar tower. Namun layanan telepon dan SMS di atas hanya bisa untuk sesama pemegang handset yang sedang attachdi cell tersebut, karena belum ada sistem handover cell dan interkoneksi dengan operator lain.
OpenBTS versi komersial
Di samping untuk kepentingan riset dan komunitas open source, OpenBTS juga memiliki versi komersial yang memiliki fitur yang lebih lengkap dan mempunyai lisensi non-GPL end user, yang artinya tidak dirilis untuk publik. Jadi hanya pembeli saja yang bisa menikmati fitur-fitur komersial seperti :
- Real time database
- Cell broadcast
- Multi ARFCN
- Real time channel dan call status reporting ke database eksternal
- Autentifikasi RAND-SRES, melalui HTTP/SIP server
- Kemampuan untuk mencegah handset tertentu untuk memasuki cell tertentu
- Support SMS non-Alphanumerik
- Support cell handover
- USSD, interface melalui HTTP atau protokol SIP
- Akses data melalui GPRS, EDGE, UMTS
Hardware OpenBTS versi komersial ada yang berupa desktop namun ada juga berbentuk rack 19 inchi (2U) seperti layaknya standar operator seluler. Biasanya juga dilengkapi dengan duplexer untuk dihubungkan ke antenna GSM baik yang omni maupun antenna sektoral. Sebagai sebuah produk komersial, sang vendor juga memberikan customer support, training, kontrak maintenance, upgrade lisensi (contoh: BTS 2G ke 3G, atau dari single ARFCN ke multiple ARFCN). Beberapa vendor/operator besar dunia yang sudah menggunakan layanan OpenBTS komersial antara lain T-Mobile, Orange, Telefonica SA, AT&T, Kasi Mobile, Telecom Niue, Raytheon, Qualcomm, RIM, Samsung, SRI, BBN, SAIC, General Dynamics, Lockheed-Martin, dsb.
Interkoneksi OpenBTS untuk Operator Seluler
Setelah memahami teknologi dasar dari OpenBTS, sekarang mari kita coba kaji ‘kelayakan’ teknologi OpenBTS ini untuk operator seluler dalam memberikan layanan seluler untuk pelanggannya. Sebagai operator resmi tentunya terikat dengan UU No 36 tahun 1999 tentang penyelenggaraan jasa telekomunikasi di Indonesia. Dengan demikian operator tidak bisa seenaknya dalam menggelar jaringan seluler nasional. Berbicara mengenai kualitas, maka operator tentunya akan melirik OpenBTS versi komersial daripada versi ‘opensource’-nya. Dipandang dari banyak aspek seperti dukungan vendor, banyaknya additional features, monitoring performance akan lebih memudahkan operator untuk melakukan benchmark kualitas layanan jaringan OpenBTS. Untuk mengganti seluruh jaringan eksisting dengan teknologi OpenBTS juga rasa-rasanya tidak mungkin. Oleh karena itu penulis coba mengkaji tentang interoperability OpenBTS dengan jaringan seluler eksisting menjadi sebuah jaringan seluler hybrid yang mampu bersama-sama melayani pelanggan seluler. Prinsip teknologi OpenBTS adalah voice over internet protocol (VoIP) yang menggunakan protokol yang lebih efisien dan reliable yakni SIP. Jadi kuncinya di sini adalah backhaul yang berbasis IP dengan interface ke pelanggan seluler tetap menggunakan air interface (Um).Dengan demikian dari sisi pelanggan (handset) tidak ada perubahan yang berarti, sedangkan dari sisi operator cukup menyediakan transmisi IP-based dan diinterkoneksikan ke jaringan inti (core network) eksisting miliknya.
Skenario pertama adalah menginterkoneksikan output USRP+software OpenBTS (pada versi komersial ada tipe OpenBTS embedded on USRP) yang berupa interface ethernet ke IM-MGW (IP Multimedia Media Gateway). Jika OpenBTS terletak jauh dari MGW-nya maka data harus ditransmisikan menggunakan jaringan transmisi IP-based milik operator sendiri. Contoh skenario pertama ini dapat dilihat pada gambar OpenBTS B di atas. Bagaimana jika daerah yang akan di-cover openBTS terletak di pedalaman atau daerah bencana, dimana tidak terjangkau oleh transmisi radio RF terdekat? Ini bisa diatasi dengan menggunakan media internet di tempat tersebut sehingga otomatis OpenBTS akan terhubung dengan IP network. Karena core netwotk operator juga terhubung dengan IP network melalui GGSN dan firewall, maka dengan sedikit ditambahi protokol security seperti SSL dan atau VPN maka OpenBTS dapat terhubung IM-MGW milik operator. Untuk tipe koneksi seperti ini dapat dilihat pada skenario OpenBTS A pada gambar di atas. Aplikasi lain yang tak kalah menarik adalah mobile BTS. Karena dimensi USRP yang relatif kecil dan ringan, maka instalasi OpenBTS menjadi sangat mudah dan cepat. Jika sudah tidak ada issueinterkoneksi dan handover cell dengan jaringan eksisting, maka aplikasi OpenBTS untuk mobile BTS suatu saat akan menjadi opsi yang sangat menarik. Di samping instalasi yang mudah, biaya instalment juga relatif lebih murah dengan kualitas dan coverage yang relatif sama dengan mobile BTS eksisting. Mobile BTS ala OpenBTS sangat portable hingga cocok digunakan untuk daerah terpencil yang belum terjangkau jaringan komersial operator seluler (contoh: daerah pedalaman, pengeboran minyak lepas pantai, jalur kapal laut antar pulau, dll), maupun daerah bencana dimana infrastruktur operator rusak karena bencana tersebut (contoh : Tsunami di Aceh tahun 2004).
Bahkan, openBTS juga dapat dikembangkan menjadi cell dengan coverage seluler lebih kecil semacam femtocells dalam gedung atau rumah yang sebelumnya tidak mendapat sinyal dari operator seluler. Dan yang terakhir, OpenBTS dapat diinstal di ruangan untuk digunakan sebagai simulasi jaringan seluler mini dan testing handset untuk keperluan riset layanan seluler ke pelanggan baik untuk menguji kualitas jaringan maupun uji coba konten digital. CAPEX vs Reliability, OPEX vs Revenue Kalau kita cermati lebih dalam operator dapat memanfaatkan teknologi OpenBTS untuk meringankan biaya CAPEX, seiring misinya mengembangkan jaringan seluler ke seluruh pelosok negeri. Harga OpenBTS versi komersial masih lebih murah ketimbang BTS komersial. Apalagi dalam topologi jaringan ‘seluler’ versi OpenBTS sudah meniadakan fungsi BSC dan MSC, yang tentunya dapat lebih menekan biaya CAPEX. Selain itu, operator dapat menghemat biaya dari sisi akuisisi lahan, karena OpenBTS bisa tidak membutuhkan areal lahan yang besar bahkan bisa dirancang secaratower mounted sehingga tidak membutuhkan shelter BTS. OpenBTS outdoor yang dipasang di tower juga tidak membutuhkan kabel feeder, karena data dapat langsung dipancarkan ke hop transmisi sebelumnya. Sementara biaya maintenance jaringan (OPEX) harusnya bisa ditekan karena peralatan telekomunikasinya (USRP) yang mini dan compact, adanya kontrak maintenance dengan vendor, berkurangnya biaya perawatan lahan, mengurangi kemungkinan pencurian kabel grounding dan feeder (OpenBTS tidak membutuhkan feeder), dll. DIgunakannya protokol IP based juga menjadikan OpenBTS fully monitored sehingga memudahkan monitoring peripheral dan environtment sekitar, dengan demikian teknisi operator dapat melakukan remote monitoring sehingga dampaknya juga akan mengurangi biaya OPEX. Yang perlu dilakukan oleh business analyst operator adalah melakukan riset sejauh mana pengurangan belanja modal/investasi yang dilakukan (CAPEX) karena membeli produk sejenis dengan harga yang lebih murah (karena menggunakan teknologi yang lebih efisien) dapat terus bertahan beberapa tahun ke depan dengan reliability dan quality perangkat yang mumpuni, karena bisa jadi dengan harga yang lebih murah namun tiap tahun harus ganti perangkat juga bukan merupakan pilihan investasi yang tepat. Analisa yang kedua yang harus dilakukan adalah sejauh mana penurunan OPEX karena implementasi OpenBTS secara komersial ini akan tetap mampu mendorong kenaikan revenue sebagai tulang punggung kehidupan perusahaan. Yang diharapkan tentunya terjadi penurunan OPEX namun revenue yang dihasilkan dalam tren positif (meningkat). Kurang lebih penulis menggambarkan statistik argumentasi di atas dalam sebuah chart dengan skala bebas sbb:
Penutup
Bagaimanapun, sebuah teknologi yang murah namun efisien tentu ‘mengancam’ teknologi sebelumnya yang lebih dulu mapan. OpenBTS mampu berdiri layaknya jaringan operator seluler walaupun dengan skala coverage yang lebih kecil namun hanya membutuhkan biaya instalasi yang relatif terjangkau. Dengan demikian siapapun bisa mendirikan ‘operator seluler’ sendiri. Ini tentunya akan menimbulkan masalah terhadap operator resmi, mulai dari masalah intereference, penurunan performance jaringan sampai pada penurunan revenue karena habit customer yang selalu mencari tarif yang lebih murah. Operator ‘bodong’ dengan investasi ringan tentunya mampu memberikan tarif lebih murah bukan? Ini tentunya dikhawatirkan operator resmi karena sudah mengeluarkan biaya investasi triliunan rupiah untuk sewa frekuensi dan membangun infrastruktur jaringan. Nah, di sinilah peran pemerintah, dalam hal ini BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia), mengatur regulasi penyelanggaran jasa telekomunikasi sesuai dengan payung hukum UU 36 th 1999 dan UU ITE No. 11 th 2008. Penggunaan frekuensi GSM 900/1800 Mhz (OpenBTS juga menggunakan frekuensi ini) secara illegal tentunya melanggar hukum, dan pelakunya juga dapat terjerat dengan hukuman pidana Namun, sebenarnya operator resmi juga dapat memanfaatkan teknologi OpenBTS ini untuk kepentingan ekspansi bisnisnya. Persaingan bisnis telekomunikasi yang ketat di tanah air memicu operator seluler untuk mengencangkan ikat pinggang, namun berpikir keras supaya performance jaringan tidak berkurang. OpenBTS versi komersial tampaknya layak dipertimbangkan operator seluler di Indonesia sebagai usaha untuk mengembangkan jaringan seluler ke pelosok pedesaan, dengan biaya CAPEX dan OPEX yang lebih ringan namun dengan kualitas setara dengan GSM konvensional. Dengan sedikit modifikasi, OpenBTS ini juga dapat digunakan sebagai mobile BTS atau sebuah femtocell. Bahkan migrasi ke layanan IMS pun menjadi lebih mudah menggunakan OpenBTS. Jika jaringan seluler telah bermigrasi ke IMS, persaingan antar operator nantinya tidak lagi berkutat ke kualitas dan coverage jaringan maupun pricing, namun lebih pada konten digital. Penulis memperkirakan di masa depan konten yang menarik akan menjadi kue lezat bagi operator untuk menambah pundi-pundi revenue-nya.
sumber:
http://openbts.sourceforge.net/
http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/OpenBTS
http://www.kestrelsp.com/OpenBTS.html
OpenBTS, Alternatif Komunikasi Selular Relatif Murah
Biaya pengadaan telekomunikasi selular memang tak murah. Tapi kini bisa disiasati dengan OpenBTS (Open Base Transceiver Station) adalah sebuah BTS GSM berbasis software, yang memungkinkan handphone GSM untuk menelepon tanpa menggunakan jaringan operator selular. OpenBTS dikenal sebagai implementasi open source pertama dari protokol standard industri GSM. Apa kelebihan aplikasi ini? Jika menggunakan menara BTS biasa, akan memerlukan biaya miliaran rupiah, maka Open BTS hanya memakan biaya 15-25 juta rupiah. Wah kok bisa murah sekali? Ya, sebab peralatan yang digunakan lebih sederhana, dan sesuai dengan konsep open source, maka sistem operasi yang dipakai pun bebas bea lisensi. Onno W Purbo antusias mempopulerkan aplikasi ini di Indonesia, walau bukan dia yang pertama mengembangkan OpenBTS ini, melainkan Harvind Samra dan David A Burgess. “Biayanya, untuk hardware Universal Software Radio Peripheral (USRP) sekitar US$1500, power Amplifier US$1000, bea masuk sekitar US$1000. Sisanya menggunakan software open source seperti Asterisk yang gratis,” jelas Onno, aktivis open source kepada Netsains.Com. Satu unit OpenBTS itu mampu menjangkau satu kecamatan. Sementara menara BTS biasa yang dimiliki operator seluler, bisa menghabiskan biaya 3 miliar rupiah, dengan spesifikasi jauh lebih kompleks, serta melibatkan banyak sumber daya dan konfigurasi mahal. “Jangkauan OpenBTS tergantung power amplifier dan antenanya. Kalau kita mau, bisa sama dengan BTS selular biasa ,” jelas Onno. Di Indonesia, Onno sendiri sudah menerapkannya dalam ujicoba yang dipakainya sendiri. Temannya, Yono Kurniawan juga sudah bereksperiman dan sukses, seperti yang didemokan di sini.
OpenBTS ini menggantikan infrastruktur tradisional operator GSM. Dari yang biasanya trafik diteruskan ke Mobile Switching Center (MSC), pada OpenBTS trafik diterminasi pada box yang sama dengan cara mem-forward data ke Asterisk PBX melalui SIP dan Voice-over-IP (VoIP). Referensi air interface (Um) menggunakan software-defined radio (SDR) pada Universal Software Radio Peripheral (USRP) USB board. Tujuan dari pengembangan OpenBTS ini adalah untuk mengurangi biaya layanan GSM di wilayah rural di negara berkembang agar bisa ditekan menjadi di bawah US$1 per bulan per pelanggan.
Tet lapangan pertama dilakukan di Nevada dan California Utara, Amerika Serikat. Tahun 2010, sebuah sistem OpenBTS di pasang secara permanen di Nieu dan merupakan instalasi pertama yang tersambung dan dicoba oleh perusahaan telekomunikasi di sana. Niue adalah sebuah negara yang sangat kecil dengan penduduk sekitar 1700 orang yang tidak menarik bagi penyelenggara telekomunikasi mobile. Struktur biaya OpenBTS sangat cocok untuk Niue yang sangat mendambakan layanan selular tapi tidak bisa membeli sistem base station GSM konvensional.
Bagaimana di Indonesia? Apakah bisa juga digunakan masyarakat? Salah satu kendala paling urgen menurut Onno adalah masalah perizinan. Aktivis open source yang kini memperkenalkan OpenBTS ini ke Thailand ini merasa agak sulit untuk mendapatkan izin dari pemerintah dalam penggunaan OpenBTS. “Maklum, semua frekuensi GSM kan sudah di-booking operator,” komentarnya.
OpenBTS akan sangat berguna sekali di lokasi bencana, saat menara BTS mengalami kerusakan dan telekomunikasi terputus sama sekali. Maka sudah saatnya aplikasi ini dikenal masyarakat luas, dengan atau tanpa “restu” pemerintah.
Referensi:http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/OpenBTS
Open BTS, Solusi Komunikasi Gratis!
Ditulis pada 16 May 12
Ada alternatif menarik dari sekelumit permasalahan perang tarif telepon seluler atau pulsa yang masih dianggap masih mahal: Open Base Transceiver Station (Open BTS). Bisnis telekomunikasi adalah bisnis yang menguntungkan. Orang tidak segan membelanjakan uang untuk beli pulsa. Tarif pulsa yang ada sekarang ini sudah tergolong murah. Namun, ternyata biaya itu masih bisa lebih murah lagi. “Dengan menggunakan software open source dan sebuah hardware yang tidak terlalu besar, kita bisa membuat BTS sendiri,” ungkap Penggiat Teknologi Informasi (TI), Onno W Purbo, yang pertama mengembangkan Open BTS ini di Indonesia. Namun bukan buat alternatif tersebut saja, Open BTS ini juga ditujukan untuk bisa menjadi solusi membantu daerah terpencil yang tidak tersentuh operator seluler, seperti misalnya pedalaman Papua. “Orang Papua punya ponsel, tapi biasanya mereka menggunakannya untuk mendengarkan musik. Beli pulsa juga percuma, karena tidak ada BTS-nya. Tidak ada operator seluler yang berani masuk ke kawasan pedalaman, karena biaya pasang BTS sangat mahal, dan mereka tidak melihat ada potensi konsumen di sana, sehingga mereka akan rugi,” kata Onno. Karena itulah, Open BTS akan sangat bermanfaat untuk membangun infrastruktur telekomunikasi di daerah seperti itu. Sepertinya memang logis, melihat operator telekomunikasi selalu memberikan layanan hanya kepada yang mampu bayar. Tapi di sisi lain, orang-orang di wilayah pedalaman yang terpencil akan makin terkucil tanpa komunikasi dengan dunia luar. Selain area terpencil, Onno juga mengatakan bahwa Open BTS ini sangat baik didirikan di kawasan paska bencana yang infrastrukturnya rusak parah, serta di daerah perbatasan. Cara membuatnya mudah. “Lagipula protokol yang digunakan adalah protokol asterisk, yakni protokol yang persis sama dengan yang digunakan Telkomsel misalnya,” ungkap Onno. Tapi belum ada yang mengimplementasikan teknologi ini secara nyata di Indonesia. Banyak kendala yang dihadapi Open BTS ini untuk dikembangkan. Selain keterbatasan alatnya atau perangkat hardware, lagi-lagi regulator enggan memberikan kesempatan untuk mengembangkan aplikasi Open BTS ini lebih jauh lantaran dicap bisa mengancam keberlangsungan dan keuntungan para operator seluler. Bahkan disebut-sebut penggunaan Open BTS ini ilegal. Ilegal? Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) menilai penggunaan teknologi Open BTS masih terlarang karena belum ada regulasi yang mengaturnya secara detail. “Sebelum regulasi detilnya ada, ya semuanya masih terlarang. Sesuai amanat Undang-undang No.36/1999 tentang telekomunikasi,” kata anggota BRTI, M Ridwan Effendi, beberapa waktu lalu. “Yang jelas, open BTS itu pasti menggunakan frekuensi seluler. Lisensi frekuensinya kan kepunyaan operator yang ada sekarang. Setiap pemancaran frekuensi harus ada izinnya kecuali untuk yang class license seperti Wi-Fi dan remote control,” lanjut dia. Menurut Ridwan, teknologi ini sebenarnya cukup bagus untuk dikembangkan sebagai infrastruktur tanggap darurat bencana karena mudah dan cepat membangunnya. Sementara interkoneksinya ke jaringan telepon bisa melalui jaringan berbasis internet protocol (IP). “Bisa juga buat mengisi daerah blank spot, atau iseng saja bikin BTS sendiri biar tidak perlu beli pulsa. Namun masalahnya, setiap pemancaran harus berijin. Apalagi pemegang lisensi frekuensi sudah membayar BHP frekuensi selular yang cukup besar, jadi harus ada proteksi,” jelasnya lagi. Menurut Ridwan, produk Open BTS semacam ini pernah juga dibuat dengan nama Femto Cell. “Namun harus dicermati juga, dengan Femto Cell orang bisa bikin BTS independen terhadap operator. Jadi turis asing yang datang ke Indonesia, kalau nakal, dia bisa pasang itu Femto Cell dan interkoneksikan pakai Wi-Fi hotel, kemudian dia bisa telepon-teleponan internasional gratis, cuma bayar biaya internet di hotel saja,” jelas Ridwan. Dijamin Undang-undang Menanggapi hal ini, Onno mengaku heran jika sebuah teknologi yang sifatnya netral disebut sebagai barang ilegal. “Ibarat pisau, apakah pisau ilegal? Jelas pisau bukan barang ilegal kan? Hal yang sama dengan Open BTS, ini adalah sebuah teknologi bahkan bisa digunakan oleh operator selular biasa. Mengapa disebut ilegal?” selorohnya. Akibat pernyataan seperti itu, kata dia, lumayan fatal dan membuat miris, seperti mahasiswa takut tugas akhir Open BTS. Dosen pun melarang mahasiswanya untuk tugas akhir Open BTS. Bisa jadi kalau kebablasan ini dibiarkan, kata Onno, bukan mustahil lama kelamaan bangsa ini jadi bodoh karena teknologi “break through” mungkin akan dianggap haram. Yang lebih mengerikan lagi, menurut Onno, regulator di Indonesia seringkali melihat “aturan” seperti sesuatu yang fix, aturan adalah harga mati, tidak bisa ditawar dengan alasan ini diatur secara internasional. Kerap regulator bersembunyi di balik aturan, ini terutama terjadi saat debat publik. Padahal kenyataannya, aturan bisa berubah dan diubah oleh kita. Onno lantas menunjuk contoh kisah pembebasan frekuensi 2.4GHz di Indonesia. Ia menegaskan, penggunaan Open BTS di operator selular di Indonesia tidak masalah secara teknologi. Yang perlu dilakukan minimal Open BTS berbicara menggunakan protokol SIP, yang digunakan di softswitch. Interkoneksi softswitch Open BTS ke softswitch selular. Skenario ini, jika Open BTS menggunakan softswitch lokal. Open BTS secara langsung menggunakan softswitch operator selular. Open BTS menggunakan teknologi Telephone Number Mapping (ENUM) untuk penomoran, teknologi ini merupakan bagian dari teknologi 4G yang mungkin belum diimplementasikan dengan baik oleh operator telekomunikasi di Indonesia saat ini. Dari sisi regulasi, kata Onno, kemungkinan hanya harus type approval peralatan Open BTS sesuai peraturan yang ada. ”Jelas disini bahwa untuk keperluan operator selular, Open BTS secara prinsip hanya masalah interkoneksi antara jaringan konvensional dengan jaringan Open BTS yang agak beda sedikit arsitekturnya,” tukas Onno. Apakah Open BTS ilegal untuk komunitas dan masyarakat? Padahal jelas-jelas menurut Universal Declaration of Human Rights, pasal 19 dan 26 tertulis dengan jelas bahwa akses pada informasi dan pengetahuan merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar. Jika ada negara yang tidak memenuhi hak tersebut pada rakyatnya, maka sebetulnya negara tersebut telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Jika mengacu ke Undang Undang Telekomunikasi No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi pasal 3; telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa,meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antar bangsa. Termasuk dari Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi Pasal 6. Dari pembeberan pasal-pasal dari regulasi di atas, jelas bahwa penyelenggara jasa teleponi dasar dapat dilakukan oleh non-operator asal ada ijin menteri. “Jadi secara prinsip rakyat Indonesia bisa mengoperasikan Open BTS, meski memang yang agak rewel harus pakai ijin menteri untuk memperoleh ijin penyelenggaraan jasa teleponi dasar,” jelas Onno. Kesalahan fatal pemerintah adalah, seluruh alokasi frekuensi GSM sudah dialokasikan ke operator untuk memberikan layanan ke seluruh Republik Indonesia. Konsekuensinya, operator selular wajib memberi sinyal sampai ke desa-desa terpencil maupun puncak-puncak gunung yang secara ekonomis tidak menguntungkan. Masalahnya jelas terjadi pada wilayah yang tidak ada sinyal seperti di daerah pedesaan, daerah rural, daerah pegunungan, daerah perbatasan dan daerah yang terkena bencana alam. Beberapa alternatif solusi yang Onno tawarkan, operator dituntut membangun infrastruktur di wilayah yang tidak menguntungkan. Rakyat juga bisa membangun di wilayah yang tidak ada sinyal, sesuai dengan peluang yang diberikan oleh UU Telekomunikasi maupun KEPMEN 21/2001. Diantara pilihan yang ada, Open BTS bisa menjadi solusi utama bagi berbagai alternatif yang ada. Jika pemerintah tidak sanggup atau tidak mau pusing, lebih baik berikan ijin pada rakyat untuk membangun sendiri. Menurut Onno, tidak banyak negara di dunia yang mengadopsi teknologi Open BTS untuk memberdayakan rakyat kecil agar dapat membangun jaringan telekomunikasi sendiri. Solusi ini jelas-jelas memungkinkan dikembangkannya jaringan selular yang sangat merakyat yang memenuhi HAM terutama di negara berkembang. “Bukan mustahil jika suatu hari ini konsep Open BTS dapat diterima, kita akan melihat banyak sekali operator kecil di pedesan dan Indonesia akan menjadi panutan dunia dalam mengembangkan Telkom Rakyat atau People’s Telco,” katanya. Melihat perjuangan Onno dan ICT Watch serta Yayasan Air Putih, juga komunitas pada pergerakan Open BTS ini, kita kembali diingatkan tentang pengalaman Onno dalam perjuangan pembebasan frekuensi 2.4GHz yang memakan waktu belasan tahun. Karena itu Onno dan ICT Watch pun tampaknya tak gentar jika pergerakan mereka menuai kecaman, khususnya dari regulator dan tentunya operator yang bakal merasa dirugikan dengan kehadiran Open BTS. Padahal tujuannya pengembangan Open BTS ini, bukan untuk menyaingi vendor telekomunikasi yang sudah ada, meski Onno mengakui hal itu juga sangat bisa dilakukan. “Saat ini vendor telekomunikasi umumnya belum tahu tentang teknologi Open BTS. Kalau mereka tahu, bahwa ada alternatif sarana telekomunikasi yang lebih murah, yang dapat digunakan banyak orang tanpa perlu bayar pulsa mahal, dapat dirakit dan di-install sendiri, bisa jadi vendor-vendor yang gencar perang tarif pulsa akan gulung tikar,” tandas Onno. Karena itu penyebaran ilmu pengetahuan dan TI, khususnya alternatif telekomunikasi ini terus dilakukan hingga akhirnya sejak April tahun lalu, Workshop Open BTS pertama di Indonesia digelar di Universitas Gajah Putih Takengon Aceh Tengah. “Membuat Tower Handphone dengan peralatan BTS Open Source. Kala itu, secara kebetulan presentasinya disaksikan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Aceh. Di luar dugaan, tanggapan mereka sangat positif. “Mereka sebenarnya mau yang begituan. Tujuannya, untuk mempermudah komunikasi lokal daerah mereka,” kata dia. Onno sudah mengimplementasikan teknologi ini. Ia pun terus bergerak mengajarkan dan menyebarkan ihwal Open BTS ini ke kalangan kampus, sekolah dan masyarakat umum, Kemenristek, termasuk militer hingga terakhir pada 29 April 2012 ia tampil di hadapan ratusan peserta di Festival TIK untuk Rakyat di Politeknik Telkom Bandung. Akan tetapi di samping kendala minimnya dukungan teknologi telekomunikasi yang murah ini, dalam implementasinya Open BTS ini pun tetap menghadapi kendala biaya, sebab tetap memerlukan infrastruktur atau perangkat keras yang menyokongnya, meski terbilang masih bisa dijangkau. Onno mengestimasi paling tidak untuk membangun infrastruktur Open BTS ini membutuhkan dana Rp200 juta. Bandingkan dengan BTS operator seluler yang menelan dana miliaran rupiah. Satu menara BTS biasanya terdiri atas tiga pemancar, dan satu pemancar harganya Rp 3 miliar. Operator tentu dapat membangunnya berkat konsumen operator seluler. Nah, sementara hardware yang dibutuhkan Open BTS ini bernama Universal Software Radio Peripheral (USRP) dan software terbuka asterisk. Sebab USRP lah yang menghubungkan Open BTS dengan jaringan standar telepon seluler (GSM). Sedangkan asterisk berfungsi menginterkoneksikan dengan jaringan telepon lainnya seperti Public Switched Telephone Network (PSTN) atau operator telekomunikasi lain dengan menggunakan Voice over IP (VoIP). “Alat USRP-nya ini yang agak mahal, karena ada di Amerika. Kalau ada yang berani beli, harganya sekitar Rp10 juta. Mahasiswa Indonesia bisa beli satu dan mengoprek alat itu supaya nanti bisa bikin sendiri. Biaya membangun BTS mahal sekali. Tapi jika kita bisa membuat sendiri, biaya telekomunikasi akan makin murah,” kata Onno meyakinkan. Selain ketidakadaan hardware, kendala lain juga masalah frekuensi. Di Indonesia kedua hal itu diatur undang-undang. “Karena frekuensi radio itu adalah sumber daya alam yang dikuasai negara. Jadi kita nggak bisa sembarangan menggunakannya. Menggunakan frekuensi tanpa izin akan melanggar hukum,” kata dia. Onno sendiri mengaku sebenarnya pernah mengusulkan pemanfaatan teknologi Open BTS ini kepada Kementrian Komunikasi dan Informatika. Jawabannya, UU mengatakan bahwa di wilayah yang tidak beroperator, rakyat boleh membuat sarana komunikasi sendiri. Tapi karena untuk melaksanakannya butuh peraturan, dan pemerintah kesulitan membuat peraturannya, maka pemerintah memberi alternatif lain: masyarakat di daerah paska bencana, yang infrastruktur komunikasinya rusak, boleh mendirikan sarana komunikasi dengan meminta operator resmi sebagai payungnya, tapi dengan harga nego. Sedangkan untuk software menggunakan open source yang dapat diperoleh gratis. Dengan pembuatan Open BTS yang biayanya hanya sekitar Rp. 200 juta, sarana ini tentunya akan membantu proses komunikasi antara kawasan yang dilanda bencana dengan wilayah luar. “Di Indonesia sarana ini sangat bisa diterapkan. Orang Indonesia pintar-pintar, tapi alatnya belum ada. Padahal ini sangat menguntungkan dan sangat dibutuhkan,” tegas Onno. Bagaimana Open BTS Bekerja? Dalam sejarahnya pun, proyek ini mulai dijalankan pada 2009 oleh Harvind Samra dan David A. Burgess dengan tujuan untuk mengurangi biaya layanan GSM di wilayah rural di negara berkembang agar bisa menjadi di bawah USD1/bulan/pelanggan. Open BTS mengganti tradisional infrastruktur operator GSM, dari Base Transceiver Station ke belakangnya. Dari yang biasanya trafik diteruskan ke Mobile Switching Center (MSC), namun pada Open BTS trafik diterminasi pada box yang sama dengan cara mem-forward data ke Asterisk PBX melalui SIP dan VoIP. Test lapangan dilakukan di Nevada dan California Utara, Amerika Serikat. Lisensi radio temporary untuk perioda yang sangat pendek diperoleh melalui Kestrel Signal Processing (KSP) – perusahaan konsultan dari pembuat Open BTS. Di 2010, sebuah sistem Open BTS dipasang secara permanen di Nieu dan merupakan instalasi pertama yang tersambung dan dicoba oleh perusahaan telekomunikasi di sana. Niue adalah sebuah negara yang sangat kecil dengan penduduk sekitar 1.700 orang yang tidak menarik bagi penyelenggara telekomunikasi mobile. Struktur biaya Open BTS sangat cocok untuk Niue yang sangat mendambakan layanan selular tapi tidak bisa membeli sistem base station GSM konvensional. Jadi, Open BTS adalah sebuah BTS GSM berbasis software open source, yang memungkinkan handphone GSM untuk menelpon tanpa menggunakan jaringan operator selular yang ada. Open BTS dikenal sebagai implementasi open source pertama dari protokol standard industri GSM. Dengan Open BTS, maka komunitas, akademisi, peneliti maupun masyarakat luas dapat mengembangkan penelitian hingga penyediaan sarana telekomunikasi GSM secara mandiri. Bermodalkan Open BTS ini, pengguna dimungkinkan untuk menelepon dan SMS secara gratis, dengan investasi yang relatif murah. Soal kualitas suara atau kecepatan pengiriman SMS dinyatakan sama baiknya dengan telekomunikasi melalui operator telekomunikasi. Telekomunikasi melalui Open BTS bisa dilakukan dengan telepon seluler biasa, yang murah sekalipun. Kartu SIM yang dimasukkan juga tidak perlu yang masih aktif, yang sudah mati pun bisa dimanfaatkan, Perangkat Open BTS memungkinkan pengguna menelepon dan SMS selama masih berada dalam jangkauan. Membangun Open BTS ibaratnya membangun operator seluler sendiri. Pengguna bisa melakukan telepon dan SMS tanpa butuh pulsa, Secara sederhana, cara kerja Open BTS antara lain telepon (sender) diterima oleh server kemudian diteruskan ke BTS lalu diterima oleh receiver. Semua pengguna yang tergabung (join) dalam BTS ini akan dapat menikmati layanan telepon dan SMS gratis. Hanya saja jangkuan sinyalnya terbatas, dan hanya bisa berkomunikasi dengan ponsel lain yang terkoneksi dengan jaringan Open BTS. Berikut dasar-dasar perangkat dan piranti lunak yang dibutuhkan untuk menggunakan teknologi ini. Hardware; Tentu saja hal yang paling dasar adalah seperangkat komputer, bisa desktop ataupun notebook. Kemudian, untuk Open BTS versi minimal, dibutuhkan hardware untuk memancarkan sinyal radio bernama USRP dan dua jenis antena, yakni antena transmitter dan receiver. USRP inilah yang menggantikan peran pemancar pada BTS operator seluler komersil. USRP versi minimal bisa didapatkan dengan harga Rp10 sampai 20 juta. Lewat kabel USB, sambungkan komputer ke USRP. Setelah itu, dua kabel yang ada di USRP disambungkan ke dua antena tersebut. Software; Sebelumnya, komputer yang digunakan harus bersistem operasi Linux. Sistem operasi lain seperti Windows atau Mac tidak bisa digunakan untuk menjalankan Open BTS. Semua software yang digunakan untuk Open BTS ini bisa di-download secara gratis, dan semuanya merupakan software open source. Gunakan software GNU Radio, untuk mengendalikan USRP. Kemudian software Open BTS, untuk mengontrol operasi BTS. Ada juga software sentral telepon bernama Asterisk. Software ini biasa digunakan untuk teknologi sentral telepon generasi 4G. Protokol yang digunakan oleh sentral telepon Asterisk adalah Session Initiation Protocol (SIP). Protokol macam ini juga dipakai oleh operator seluler komersil seperti Indosat, Telkomsel, XL, Axis, dan lain-lain. Logika USRP; Logika berpikir USRP dalam Open BTS ini kira-kira seperti soundcard pada komputer. Sebuah soundcard harus diprogram agar mengeluarkan sinyal audio. Nah, begitu juga dengan USRP yang diprogram agar mengeluarkan sinyal radio. Bukan hanya sinyal radio, USRP ini bisa diatur untuk mengeluarkan sinyal AM, FM, ataupun sinyal TV. Semua sinyal itu diprogram melalui software. Inilah yang menyebabkan Open BTS bisa dirakit dengan harga yang murah. Karena pemancarnya diatur lewat software. Jika pemancarnya berupa hardware pasti membutuhkan biaya miliaran rupiah. Jangkauan Open BTS versi minimal ini hanya 5 sampai 10 meter saja. Karena, konsumsi listriknya hanya 100 mili watt. Jika power amplifier-nya diganti menjadi 10 watt, seharga Rp120 juta rupiah (belum termasuk ongkos kirim), jangkauannya bisa mencapai lebih dari lima kilometer. Intinya, Open BTS lebih mudah dan lebih murah dibangun dibandingkan dengan operator seluler yang konvensional. Teknologi Open BTS ini belum banyak diterapkan di dunia, Indonesia pun diharapkan suatu saat bisa jadi pelopor Open BTS dunia. Namun sampai sekarang, Open BTS belum banyak diimplementasikan. Di Indonesia sendiri, masih sangat sedikit yang bisa membangunnya. Onno bersama ICT Watch dan Yayasan Air Putih punya misi menyebarluaskan teknologi Open BTS ke Tanah Air. Jadi diharapkan makin banyak orang Indonesia yang bisa membuatnya. ICT Watch pun siap memfasilitasi para mahasiswa yang ingin mempelajari seperti apa Open BTS. Mereka bisa menghubungi ICT Watch untuk belajar langsung atau mengundang untuk menggelar workshop. Adapun tujuan jangka panjangnya adalah menjadikan Open BTS sebagai solusi murah telekomunikasi. “Bayangkan juga kalau sudah banyak orang di sini yang tahu dan Open BTS jadi industri, maka nanti kita bisa ekspor. Negara di Afrika atau Amerika Selatan kan menginginkannya. Indonesia bisa menjadi yang pertama menguasainya,” pungkas Onno. Manfaat Bagi Pendidikan Dunia pendidikan dituntut untuk selalu senantiasa menyesuaikan perkembangan teknologi terhadap usaha dalam peningkatan mutu pendidikan, terutama penyesuaian penggunaan TI bagi dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Globalisasi telah memicu kecenderungan pergeseran dan inovasi dalam dunia pendidikan dari pendidikan yang konvensional kearah pendidikan yang lebih modern, dari teacher centered menuju student centered. Perubahan akan tuntutan itulah yang menjadikan dunia pendidikan memerlukan inovasi dan kreatifitas dalam proses pembelajarannya karena banyak orang mengusulkan pembaharuan pendidikan dan pengajaran, tapi sedikit sekali orang yang berbicara tentang solusi pemecahan masalah tentang proses belajar yang sesuai dengan tuntutan global saat ini. Salah satu pemecahan masalah tersebut diantaranya adalah pemanfaatan media pendidikan. Media yang berkembang saat ini selain komputer adalah handphone. Bagi dunia pendidikan, meluasnya pemanfaatan ponsel merupakan suatu potensi dan solusi untuk pengembangan pembelajaran dengan sistem baru yang dapat memenuhi kebutuhan dari mobilitas yang tinggi agar tuntutan global akan dunia pendidikan dapat terpenuhi. Penelitian Mobile School Service oleh Zoran Vucetic melansir, teknologi ponsel dimanfaatkan sebagai sarana media pembelajaran pada mahasiswa di University of Novi Sad, Zrenjanin, Serbia. Di samping itu teknologi HP juga dimanfaatkan dalam pendidikan dan sudah diterapkan di Open University Malaysia yang berbasis SMS gateway dengan metode blended. Telah terbukti dengan munculnya sistem pendidikan baru yang dikenal dengan sebutan Mobile Learning (m-Learning) yang merupakan paradigma pembelajaran yang memanfaatkan teknologi dan perangkat mobile yang mengalami perkembangan pesat Dengan adanya mobile learning sangat memungkinkan untuk meningkatkan proses belajar khususnya untuk perkembanganTIK. M-Learning pun banyak dimanfaatkan untuk keperluan pendidikan khususnya pembelajaran jarak jauh, karena dengan mobile learning pembelajaran jarak jauh di rasa lebih efektif dan lebih efisien dalam hal penyebaran informasi dan proses pembelajaran. Setidaknya itu yang dirasakan oleh Universitas Terbuka Malaysia yang menggunakan M-Learning berbasis SMS gateway sebagai salah satu metode pembelajarannya. Karena itu, Open BTS menjadi potensi yang sangat besar dalam pengembangan M-Learning, karena untuk keperluan pendidikan khususnya di daerah terpencil , dibutuhkan penyebaran informasi yang cepat serta pembelajaran yang merata, Open BTS. Dunia pendidikan harusnya aware dan siap siaga dalam pengembangan teknologi seperti Open BTS ini, terlepas dari regulasi yang ada. Bahkan sebenarnya, pihak operator pun bisa memakai solusi Open BTS untuk masyarakat di pedalaman yang belum mendapat akses telekomunikasi. Namun jika mereka tidak mau membangunnya dengan berbagai alasan, masyarakat bisa berinisiatif sendiri. ICT Watch dan Yayasan AirPutih telah memulai melakukan riset implementasi Open BTS sejak awal tahun 2011. Tim AirPutih telah berhasil mengoperasikan Open BTS dan saat ini sedang mengembangkan Open BTS untuk diimplementasikan saat kondisi darurat sebagai dukungan teknologi komunikasi. Telekomunikasi murah dan hemat, serta pulsa gratis melalui Open BTS sementara ini memang sangat bermanfaat untuk daerah-daerah terpencil dan bencana alam. Semoga di masa depan Open BTS bisa diimplementasikan sebagai sarana komunikasi masyarakat.
RANGKUMAN
1. Pengertian Open BTS
Open BTS adalah sebuah platform open source untuk membangun sebuah BTS (Base Transceiver Station) layaknya milik jaringan operator seluler. Perbedaannya adalah Open BTS berbasis software open source, sedangkan BTS komersial milik operator berbasis hardware dengan standar protokol ITU-T dan biasanya di buat vendor internasional seperti Ericsson, Nokia, Huawei, dll. Seperti halnya software open source yang lain, OpenBTS ini juga free of charge, bahkan source code-nya juga dapat diunduh dan di-oprek sendiri.
2. Sejarah Open BTS
Proyek ini mulai dijalankan pada 2009 oleh Harvind Samra dan David A. Burgess dengan tujuan untuk mengurangi biaya layanan GSM di wilayah rural di negara berkembang agar bisa menjadi di bawah USD1/bulan/pelanggan.Test lapangan dilakukan di Nevada dan California Utara, Amerika Serikat. Lisensi radio temporary untuk perioda yang sangat pendek diperoleh melalui Kestrel Signal Processing (KSP) – perusahaan konsultan dari pembuat Open BTS.Di 2010, sebuah sistem Open BTS dipasang secara permanen di Nieu dan merupakan instalasi pertama yang tersambung dan dicoba oleh perusahaan telekomunikasi di sana. Niue adalah sebuah negara yang sangat kecil dengan penduduk sekitar 1.700 orang yang tidak menarik bagi penyelenggara telekomunikasi mobile. Struktur biaya Open BTS sangat cocok untuk Niue yang sangat mendambakan layanan selular tapi tidak bisa membeli sistem base station GSM konvensional. 3. Teknologi Open BTS
Setidaknya ada dua komponen utama untuk membangun sebuah jaringan ‘seluler’ berbasis OpenBTS, yakni hardware (USRP, antena, duplexer, power amplifier) dan software (OpenBTS, Asterix, Jabber). USRP (Universal Software Radio Peripheral) bertugas untuk handling client request melalui air interface (Um), antenna sebagai pemancar dengan band 900/1800 Mhz, duplexer berguna untuk membagi carrier RF ke beberapa antena sektoral jika diinginkan dan power amplifier untuk menambah coverage seluler. Komponen pendukung berikutnya adalah software yang bertugas untuk mengolah signal RF sebagai carrier yng berbasis DSP (Digital Signal Processor) dan software yang bertugas mengolah data (softswitch, SMS handling, GPRS). Software DSP dalam OpenBTS diwakili oleh DSR (Defined-Software Radio) yang bertugas untuk menerjemahkan (decoding) kode-kode signaling dalam pertukaran data dan sinkronisasi antara BTS dengan handset client.
Sebagai softswitch, software yang dibutuhkan adalah Asterisk untuk proses handling dan billing percakapan suara dan Jabber untuk handling data text melalui SMS. Jabber ini sebenarnya adalah software untuk text chat berbasis protokol XMPP, namun sudah dapat berkomunikasi dengan OpenBTS, yang kemudian dimanfaatkan untuk melakukan tugas handling SMS operation seperti halnya SMS Center (SMSC). Protokol komunikasi yang digunakan adalah SIP (Session Initiation Protocol), yang merupakan penyempurnaan dari teknologi VoIP (Voice over IP). Jadi Asterisk sebagai softswitch melakukan interkoneksi panggilan suara melalui jaringan IP menggunakan protokol SIP tersebut, sehingga handset GSM nantinya seakan-akan berfungsi sebagai SIP extention/SIP client, namun dengan protokol air interface (Um) di sisi physical layer-nya. Anda bisa membayangkannya seperti pada telepon ekstension kantor dengan server sebuah IP-PBX, namun telepon ekstension tersebut bersifat portable dan berbentuk seperti handset biasa. Sebagai backhaul-nya adalah IP network, jadi sangat mudah jika suatu saat nanti dikembangkan menjadi jaringan IMS (IP Multimedia Subsystem) atau 4G. Karena sudah memiliki Network Element penunjang jaringan seluler yang lengkap (radio interface, softswitch, billing, SMSC), maka OpenBTS ini dapat berdiri sendiri sebagai sebuah jaringan tunggal bahkan dengan hanya satu cell. Seperti pada gambar di atas, sebuah jaringan ‘seluler’ sudah terbentuk dan mampu melayani percakapan suara dan SMS pada lingkungan sekitar tower. Namun layanan telepon dan SMS di atas hanya bisa untuk sesama pemegang handset yang sedang attachdi cell tersebut, karena belum ada sistem handover cell dan interkoneksi dengan operator lain.
4. Tujuan Open BTS
Tujuannya untuk mengurangi biaya layanan GSM di wilayah rural di negara berkembang agar bisa menjadi di bawah USD1/bulan/pelanggan. Open BTS mengganti tradisional infrastruktur operator GSM, dari Base Transceiver Station ke belakangnya. 5. Biaya Pembuatan Open BTS Menurut Onno, seorang aktivis Open Scource “Biayanya, untuk hardware Universal Software Radio Peripheral (USRP) sekitar US$1500, power Amplifier US$1000, bea masuk sekitar US$1000. Sisanya menggunakan software open source seperti Asterisk yang gratis,”. Jangkauan untuk satu unit Open BTS itu dapat mencakup satu kecamatan.Pembuatan satu menara BTS biasa, akan memerlukan biaya miliaran rupiah, maka Open BTS hanya memakan biaya 15-25 juta rupiah. 6. Cara Kerja Open BTS Hardware; Tentu saja hal yang paling dasar adalah seperangkat komputer, bisa desktop ataupun notebook. Kemudian, untuk Open BTS versi minimal, dibutuhkan hardware untuk memancarkan sinyal radio bernama USRP dan dua jenis antena, yakni antena transmitter dan receiver. USRP inilah yang menggantikan peran pemancar pada BTS operator seluler komersil. USRP versi minimal bisa didapatkan dengan harga Rp10 sampai 20 juta. Lewat kabel USB, sambungkan komputer ke USRP. Setelah itu, dua kabel yang ada di USRP disambungkan ke dua antena tersebut. Software; Sebelumnya, komputer yang digunakan harus bersistem operasi Linux. Sistem operasi lain seperti Windows atau Mac tidak bisa digunakan untuk menjalankan Open BTS. Semua software yang digunakan untuk Open BTS ini bisa di-download secara gratis, dan semuanya merupakan software open source. Gunakan software GNU Radio, untuk mengendalikan USRP. Kemudian software Open BTS, untuk mengontrol operasi BTS. Ada juga software sentral telepon bernama Asterisk. Software ini biasa digunakan untuk teknologi sentral telepon generasi 4G. Protokol yang digunakan oleh sentral telepon Asterisk adalah Session Initiation Protocol (SIP). Protokol macam ini juga dipakai oleh operator seluler komersil seperti Indosat, Telkomsel, XL, Axis, dan lain-lain.